6.14.2011

Pergi


“Habis ini lalu apa? kamu sendirian, aku sendirian, buat apa?
kenapa kita tidak berdua lagi?”
Suaranya dalam setengah jam terakhir
Mulutku refleks membuka, ingin menjawab. Tapi tak ada bunyi keluar
selain tiupan karbondioksida. Aku tak tahu jawabannya, aku tidak tahu
sesudah ini lantas terjadi apa, aku tidak tahu kenapa dua manusia yang
saling sayang harus kembali berjalan sendiri-sendiri.
Namun kurasa hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu,
jika malam ini kita memutuskan untuk bersama, itu karena kita tidak tahu
bagaimana menengani kesendirian, aku tidak ingin bersamamu cuma
karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu, seseorang semestinya
memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin,
bukan ketakutannya akan sepi.
“Ngomong dong!” ucapnya lagi

aku ingin mengalir, hatiku belum mau mati.
aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak
sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pisah dalam amarah.
“kamu akan menyesal” gumamnya lagi

mungkin. kini kita tak mungkin tahu.
“Lima tahun. Kita akan buang lima tahun itu begitu saja.”
Kamu bukan tisu sekali pakai, kita tidak mungkin membuang apapun
jika kita percaya, hati bukan di peruntukkan untuk menyimpan. Hati
tidak pernah menyimpan apa-apa. Ia menyalurkan segalanya. Mengalir
hanya mengalir. Namun kata-kata ini membeku di ujung mulutku
seperi stalakit dan stalmagit.
Cukup lama tubuh kita terpaut hingga kata-kata yang menggantung beku
mulai cair dan mengalir ke dalam darah kita masing-masing. Hatimu tahu,
seperti hatiku pun tahu. Nadi kita mendenyutkan pesan-pesan yang tahunan
sudah menanti untuk bersua. Inilah keindahan yang ku maksud, kejujuran tanpa
suara yang tak menyisakan ruang untuk dusta. Sakit ini tak terobati dan bukan
untuk di obati, dan itu jugalah keindahan yang ku maksud. Rasakan semua...
demikian pinta sang hati, amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah
jika tepat waktunya, dan inilah hatiku, pada dini hari yang hening. Bening.
Apa adanya. Hati-hati, lenganku melonggar, melepaskan tubuhmu.
Aku tahu aku telah di mengerti. meski sekali saja pelukanku.

Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi dan tak kembali.

Cerita dee:RectoVesto

1 komentar: